Kamis, 17 Desember 2015

Resensi Novel PULANG




Kerja Keras dan Kisah Sukses Pemuda Suku Anak Dalam Bukit Barisan

A.    Identitas Buku


Judul Buku           : PULANG
Penerbit                : REPUBLIKA
Pengarang             : Tere Liye
Tahun terbit          : 2015/Cetakan VIII
Jumlah halaman    : 400 halaman
ISBN                    : 978-602-082-212-9
Harga buku          : Rp 65.000,00
Berat                    :300 gram
Dimensi                :13.5 X 20.5 Cm
Cover                   : Soft Cover

B.     Sinopsis Buku
Novel karya Tere Liye yang baru saja dirilis berjudul PULANG ini bermula ketika Tauke Muda anak Tauke Besar ini berkunjung ke rumah Samad untuk berburu. Sebenarnya, bukan itu maksud utamanya, Tauke Besar menyuruh Tauke Muda untuk menjemput anak Samad untuk diajaknya ke kota. Saat Tauke Muda tiba dirumah Samad dengan membawa tiga mobil lengkap dengan pasukan dan peralatan berburu lengkap. Setelah mengobrol di rumah panggung dan menyusun strategi selepas malam tiba mereka bersiap untuk berburu ke hutan memasuki rimba Sumatra. Saat malam semakin larut dan perburuan terus berlanjut tiba di teritorial paling dalam di hutan rimba Sumatera, teretorial yang mungkin saja ini kawasan hutan paling dalam yang menjadi markas para babi hutan, setelah mengalahkan empat babi hutan seberat 250 kg, kelompok Tauke Muda dan Bujang yang termasuk di dalamnya semakin merangsek memasuki hutan rimba Sumatera, langit semakin gelap, udara semakin dingin dan lembab, pohon dan semak belukar tumbuh tak beraturan. Semakin ke dalam sepertinya telah memasuki di kawasan penguasa hutan rimba Sumatra, tempat bersarangnya raja babi hutan, tanpa diduga babi hutan seberat 500 kg keluar siap menghadang kami dengan mata merah dan moncong teracung ke depan bukan lagi dengusan yang terdengar, melainkan rauman mirip serigala yang sedang marah, saat Tauke Muda dan yang lain tersedak, hanya meninggalkan bujang yang masih sehat, pertempuran itu pun terjadi raja babi hutan rimba Sumatera bertempur melawan Bujang yang hanya bersenjatakan tombak. Semenjak pertarungan itu, Bujang merasa rasa takut dalam dirinya sudah dicabut dan dikerluarkan dari dalam dadanya. Bujang seorang pemuda lima belas tahun yang hanya memiliki 4 emosi tanpa rasa takut.
Semenjak kejadian di dalam hutan rimba, Tauke Muda memutuskan untuk mengajak Bujang ikut bersama dirinya pulang ke ibu kota bersamanya dan akan mengakat Bujang menjadi anak angkatnya.  Setelah mengutarakan maksdunya kepada Samad, kemudian Samad meminta izin kepada Midah mamaknya Bujang untuk mengizinkan anaknya ikut Tauke Muda ke ibukota. Jika Bujang tetap di sini, Bujang tidak akan pernah menjadi apa-apa. Maka dengan berat hati dan berlinang air mata, Midah mengizinkan Bujang untuk ikut Tauke Muda ke ibukota.
“Mamak akan mengizinkan kau pergi, Bujang. Meski itu sama saja dengan merobek separuh hati mamak. Pergilah, anakku, temukan masa depanmu. Sungguh besok lusa kau kan pulang. Jika tidak ke pangkuan Mamak, kau akan pulang pada hakikat sejati yang ada di dalam dirimu. Pulang…”
Saat mamak masih terisak, mamak berpesan kepada Bujang dan meminta Bujang untuk berjanji satu hal. Yang nantinya janjinya akan terus dipegang sampai dia menjadi sukses dan kelak menjadi orang yang disegani dan ditakuti lawannya.
“Kau boleh melupakan Mamak, kau boleh melupakan seluruh kampung ini. Melupakan seluruh didikan yang mamak berikan. Melupakan agama yang Mamak ajarkan diam-diam jika bapak kau tidak ada di rumah….”
“Mamak tau kau akan jadi apa di kota sana…. Mamak tahu…. Tapi, tapi apapaun yang kau lakukan di sana, berjanjilah Bujang, kau tidak akan pernah makan daging babi atau daging anjing. Kau akan menjaga perutmu dari makanan haram dan kotor. Kau juga tidak akan menyentuh tuak dan segala minuman haram.”
“Berjanjilah kau akan menjaga perutmu dari semua itu Bujang. Agar…. Agar besok lusa, jika hitam seluruh hidupmu, hitam seluruh hatimu, kau akan tetap punya satu titik putih, dan semoga itu berguna. Memanggilmu pulang.”
Dengan berat hati dan hati seakan teriiris, mamak mencium ubun-ubun Bujang dan dengan rela melepas anaknya pergi ikut dalam salah satu mobil yang di bawa Tauke Muda dan rombongannya.
Sebelum berangkat, Tauke Muda berjanji kepada Samad, bahwa dia akan merwat Bujang seperti merawat anaknya sediri dan mendidik Bujang seperti anaknya, karena Tauke Muda berjanji akan menjadikan Bujang sebagai anak angkatnya.
****
Ketika tiba di ibu kota dan memasuki sebuah rumah dengan halaman luas dan gerbang besar disambut dengan bangunan paling besar dan dikelilingi rumah-rumah seperti mess di sayap kiri dan kanan. Begitu memasuki rumah di bangunan utama, pelayan langsung muncul dan merawat luka yang ada di tubuh Bujang. Seteleah selesai dan bersih semua. Tauke besar yang saat di kampong di panggil Tauke Muda oleh bapak berkata “tidak ada lagi rumah panggung: “apa pun yang dimiliki keluarga ini adalah milikmu, Bujang dan apapun yang kau miliki adalah milik keluarga ini. Ada seratus orang yang tinggal di rumah Keluarga Tong dan semuanya memiliki tugas masing-masing. Aku adalah pemimpin tunggal di rumah ini. Semua kataku adalah perintah. Lakukan tugas dengan baik, saling menghormati dan respeks dengan penghuni rumah lain, maka kau tidak akan mendapat  masalah. Semenjak hari itu ia sudah resmi menjadi Keluarga Tong.
Di rumah Keluarga Tong Bujang berteman dengan Basyir yang usianya terpaut 1 tahun dengannya, ada dua orang penting di rumah keluarga Tong, pertama Kopong kepala tukang pukul di rumah ini, rambutnya ikal dan wajahnya sangar. Kedua Ada Mansur dia kepala keuangan, logistik dengan perawakan tinggi kurus, mengenakan kacamata, amat cermat berhitung dan pengingat.
Lalu ada Frans yang akan mengajari Bujang untuk mengerjar ketertinggalan di sekolah formal. Sesaat setelah itu Frans memeberikan lembaran kertas berisi tes potensial akademik, dan menyurh bujang mengerjakannya setelah selesai beberapa sesi. Tauke muda terkekeh riang “Bagus Bujang.” “aku punya rencana besar untukmu dan juga rencana besar untuk Keluarga Tong. Akhirnya aku menemukan potongan puzzle terakhir dari seluruh puzzle selama berpuluh tahun.”
Setelah melalui tes potensial akademik dengan Frans, hari-hari Bujang selanjutnya diisi dengan membaca buku dan belajar dengan Frans untuk mengejar ketertinggalannya. Setelah setahun tinggal di Keluarga Tong Bujang telah mendapatkan ijazah persamaan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Menginjak usia 17 th Frans menargetkan agar Bujang bisa mendapatkan ijazah setara sekolah menengah atas dan membalik situasi, yang dulunya dia ketinggalan Sembilan tahun akan lebih cepat setahun dibandingkan yang lain.
Setelah melalui upacara AMOOOK. Di samping kegiatannya bersekolah, Bujang juga giat berlatih meninju, beladiri dan pukulan serta kecepatan bersama Kopong setiap malamnya dan siangnya dia belajar dengan Frans untuk mengerjar ketertinggalan di sekolah formal.
Kopong seseorang yang bersedia mengajari bujang setiap malam, dan kopong juga yang membujuk Tauke besar agar mengizinkan Bujang berlatih. Kenapa Kopong bersedia melatih Bujang seperti itu, itu berawal ketika Kopong berusia 12th dia kedapatan mencuri di salah satu toko Keluarga Tong, seharusnya dia dipukuli hingga habis, tapi tukang pukul keluarga Tong yang memergokiku justru membawa Kopong ke rumah Keluarga Tong. Dan Ia bilang ke Tauke agar aku bisa menjadi anggota keluarga. Tauke bersedia memberikan maaf. Dia bahkan memberikanku tempat tidur dan makanan. Kau tau siapa tukang pukul itu? Yang merubah hidupku jadi seperti ini? Bapak kau, Samad.
Setelah berbulan-bulan berlatih dengan Kopong, saat aku berhasil memukul dagunya dan membuat kopong terpental ke belakang-hampir KO, jika aku tidak menyambar tangannya, latihan selesai. Seminggu setelah itu datang guru baru yang akan melatih Bujang namanya Bushi, aku lebih memanggilnya Guru Bushi. Usianya lebih dari lima puluh tahun. Rambutnya beruban dan mengenakan pakaian tradisional berbentuk jubah dengan ikat pinggang lebar. Dua katana terselip di pinggangnya. Semenjak bertemu dengan Guru Bushi, Bujang berlatih pedang dengan sungguh sungguh, tak lupa pula Bujang berlatih Shuriken senjata tradisional Jepang yang Guru Bushi mampu melempar shuriken dengan mata tertutup. Satu hal yang selalu Bujang ingat mengenai pesan Guru Bushi “Jika kau tidak membunuh mereka lebih dulu, maka mereka akan membunuhmu lebih awal. Pertempuran adalah pertempuran. Tidak ada ampun. Jangan ragu walau sehelai benang. Setelah berlatih dengan Guru Bushi, semua latihan berakhir dengan Guru Bushi ketika Guru Bushi mendapat telpon dari keluarga di Jepang Bahwa anaknya dan istrinya mengalami kecelakaan dan dia terpaksa pulang ke negaranya untuk merawat cucunya Yuki dan Kiko.
Setelah latihan dengan guru Bushi berakhir, latihan berhenti selama beberapa minggu karena belum mendapatkan guru yang mampu melatih Bujang, selama menunggu Bujang kembali berlatih dengan Kopong. Beberapa waktu berlalu, akhirnya guru yang akan melatih Bujang datang, Kopong tidak mungkin mencarikan guru biasa, Kopong mencarikan guru terbaik untukku. Namanya Solonga, dia lahir dari keluarga miskin di kawasan Tondo, Kota Manila, sebuah kawasan super padat di Filipina. Dengan perawakan tubuh gempal dan pendek, tidak cocok untuk postur seorang penjahat kawakan. Bahkan dia lebih mirip penjaga toko kelontong saat memakai kaos tanpa kerah dan celana pendek. Tapi ada sesuatu yang sangat special dari Salonga. Itulah yang membuat Kopong- dengan persetujuan Tauke Besar- menjadikannya guru berlatihku. Berikan dia pistol, maka di tangannya, pistol itu seakan punya mata dan telinga. Salonga adalah penembak ulung, terbaik di Benua Asia.
Singkat cerita, akhirnya aku punya guru baru, menggantikan Guru Bushi. Awal-awal latihan sangat menyebalkan karena setiap kali latihan, Bujang selalu dimaki bodoh oleh Solonga jika mengacu pada standarnya. “Pistol itu hanya benda mati, Bujang!Tidak bisa berfikir. Tidak bisa menembak sendiri, yang berpikir adalah orang yang memegangnya. Pemegang pistol yang pintar, dia fokus pada misinya”. Namun Kopong berusaha menghiburnya “Jangan kau masukkan ke dalam hati, Bujang. Dia memang suka marah-marah sejak aku membawanya dari Filipina, mungkin dia masih sakit hati atas pengkhianatan klien di sana.
Ketika latihan selanjutnya masih saja Bujang menerima makian bodoh dari Solonga, “Penembak yang baik selalu tahu persis kekuatan pistolnya Bujang. Dia tahu pelurunya akan tiba di mana dan menembus apa saja, dan semua tabiat pistolnya. Bagi penembak, pistol ibarat kekasih hati, dia memahaminya dengan baik. Kau yang harus memahami pistolmu, bodoh, bukan benda mati yang memahamimu”.
Sebelum Solonga kembali ke Manila,Tauke Besar meminta Bujang untuk bertemu dengan Solonga, padahal semalam dia sudah berpamitan dengan Solonga. Begitu sampai Bujang di persilahkan duduk oleh Tauke Besar. Solonga mengeluarkan sepucuk pistol colt, memutar silender peluru, menghentikannya, lantas meletakkan pistol itu ke tanganku, “Kau tau Bujang. Ini adalah pistol yang sangat penting bagiku. Pistol pertama, pistol terbaik yang pernah kumiliki. Di dalamnya ada enam slot peluru. Lima slot kosong, satunya berisi. Aku sudah memutar silindernya, sehingga kita tidak tau di mana posisi peluru itu. Sekarang angkat pistolnya dan arahkan padaku.” Baik Tauke Besar maupun Solonga memintanya untuk menembak Solonga, tapi dengan tegas Bujang menjawab “tidak, aku tidak akan melakukannya.” “Lihat, tebakanku benar bukan? Dia tidak akan menembakmu, bahkan saat aku memaksanya melakukan. Anak ini berbeda.” Ternyata semua ini adalah ujian, latihan terakhir dari Solonga. Tapi kali ini aku berhasil melewatinya dengan baik. Hampir saja aku menarik pelatuk pistol itu. Tapi sekejap, di detik yang sangat krusial aku mengerti filosofinya. Pistol hanyalah pistol. Benda ini mematikan, tapi itu semua bergantung padapemeganya. Aku tidak akan menembak Solonga, bahkan jika kemungkinan pelurunya keluar satu banding seribu. Aku tidak punya alasan baik untuk melakukannya sekalipun Tauke yang menyuruhnya. Aku lebih memilih hukuman dari Tauke daripada menembak Solonga.
“Aku tahu kenapa kau mengangkatnya menjadi anak, pertama, tangannya sama sekali tidak gemetar saat mengacungkan pistol kepadaku. Dia selalu tenang dalam situasi segmenting apa pun. Kedua, kau benar, dia memiliki cara berpikir yang berbeda disbanding tukang pukul lainnya. Kesetiaan anak ini ada pada prinsip, bukan pada orang atau kelompok. Di masa-masa sulit, hanya prinsip seperti itulah yang akan memanggil kesetiaan-kesetiaan terbaik lainnya. Selamat tinggal kawan. Terima kasih banyak telah menyelamatkanku dari tiang gantungan, sekaligus memberikanku tempat selama menjadi burunan.”
“Pistol colt ini aku terima dari guru menembakku dulu. Dia pernah bilang, suatu saat, berikan pistol ini pada murid terbaikmu. Aku sudah menyimpannya selama tiga puluh tahun. Hari ini aku memberikannya kepadamu. Kau adalah murud terbaikku. Besol lusa, giliranmu mewariskannya.” Itulah terakhir kali bertemu dan berpamitan sebelum Solonga kembali ke Manila.  
****
Tak lama setelah Solonga kembali ke Manila, saat itu Bujang sedang kuliah pada semester akhir, dan lama kemudian dia mengerjakan skripsi dengan topik shadow economy, Bujang kuliah lebih cepat dibandingkan teman-temannya. Usai wisuda, di rumah Tauke Besar sudah membuat pesta atas kelulusan Bujang. Tapi sayang, beberapa jam kemudian setelah kabar nahagia itu datanglah kabar yang menghapus semuanya. Kebahagiaan itu hilang bagai pasir disiram air, hilang tak berbekas. Tauke menyerahkan sepucuk surat, aku menerimanya dengan mata memicing. Surat itu ditulis oleh bapakku di atas kertas kusam. Surat ini terlihat jelas oleh basahan tetes air mata yang telah mengering. Aku membacanya dengan suara tercekat, ini kabar duka. Kabar duka datang dari pedalaman rimba Sumatra, mengatakan bahwa mamak telah pergi, mamak telah pulang. Seakan ia tak percaya dengan kabar itu, ini pasti dusta, ini pasti bohong, tapi…. Surat ini jelas ditulis oleh bapak. Air mata bapak telah membuat kertas ini menjadi kusam. Ya Tuhan…… aku menatap kosong, mataku pedas, hatiku bagai diiris sembilu.
Adzan subuh terdengar dari masjid dekat markas, suaranya sayup-sayup tiba di kamarku. Aku tergugu, teringat dulu Mamak sering mengajariku mengaji, juga mengajariku mengumandangkan adzan. Suara adzan itu semakin terang terdengar. Begitu merdu mengalun lembut. Aku memeluk lutut. Tergugu. Air mataku mengalir membasahi pipi. Seluruh kebahagianku 24 jam terakhir seperti hilang begitu saja. Mamak telah pergi untuk selama-lamanya.
*****
Setelah kabar duka dari mamak, Bujang memutuskan untuk menerima tawaran Tauke Besar untuk melanjutkan sekolah di luar negri. Setelah menyelesaikan semua pendidikannya Bujang kembali pulang dan mendapatkan jamuan makan meriah seperti yang dilakukan kepada Basyir seminggu sebelumnya.
Tapi keliru. Benar-benar keliru, masih ada kabar yang bisa mengubur semua rasa bahagia. Pukul setengah empat, pintu kamarku diketuk dari luar. Aku memicingkan mata. Bukan Baasyir yang muncul dari balik pintu itu. Melainkan Tauke besar bersama Kopong. Tauke yang measih mengenakan piyama menyodorkan sepucuk surat kepadaku. “Baru tiba setengah jam lalu, aku sudah membacanya.”
Aku, tiba-tiba teringat kejadian beberapa tahun yang lalu. Tanganku gemetar membuka lipatan kertas kusam. Aku mengenali tulisan di atasnya, itu adalah tulisan bapak. Setelah membaca surat itu, Bujang terduduk lama, bangunkan aku, aku mohon, aku tidak mau berada di sini. Seolah ini hanya mimpi.
Setelah hampir sepuluh tahun berlalu meninggalkan rimba Sumatra. Tak sekalipun aku pulang menjenguk bapak.tak ada definisi pulang bagiku setelah Mamak meninggal, karena aku merasa inilah rumahku Keluarga Tong. Bapak pastilah sangat kesepian di sana. Hari-hari terakhir dihabiskan sendiri tanpa Mamak dan tanpa aku yang menemani.
Suara adzan makin terdengar, aku tergugu di kamar. Bapak telah pergi menyusul Mamak untuk selama-lamanya. Setelah menerima kabar itu, Bujang terlihat sedih, tak bersemangat melakukan apa pun, tidak selera makan, hingga terbaring lemah tak perdaya selama beberapa minggu. Namun, setelah beberapa minggu berlalu, akhirnya kesehatannya sudah kembali pulih, bisa makan dengan lahap dan beraktivitas seperti semula.
*****
Lima tahun berlalu, Bujang diminta pulang untuk menemui Kopong yang sudah sekarat. Ada yang ingin disampaikan. Mengenai Samad bapaknya. Setelah Kopong menceritakan semuanya kepada Bujang sudah tiba waktunyta untuk pergi.
“Aku akan pergi, Bujang. Jaga Tauke Besar, jaga Keluarga Tong. Besok lusa, kaulah yang akan menjadi Tauke di sini. Kau bisa membawa keluarga ke mana pun kau suka. Termasuk akan membawa apa kau sendiri.apakah akan menjadi perewa seperti kakek dari bapakmu, atau menjadi pemuda yang baik seperti kakekmu dari ibumu, dari tuanku imam. Di keluarga ini, seluruh masa lalu, hari ini dan masa depan akan selalu berkelindan, kait mengait. Esok lusa kau akan lebih memahaminya
Aku tertunduk satu butir air mata terjatuh bukan semata-mata karena kepergian Kopong, tapi juga untuk ceritanya. Aku tahu sekarang, lebih banyak luka di hati bapakku dibandingkan ditibuhnya. Juga mamakku, lebih banyak tangis di hati mamakku dibandingkan di matanya. Aku tahu itu sekarang.
****
Pertempuran dan pengkhianatan itu terjadi, tidak lain dan tidak bukan dilakukan oleh tukang pukul kepercayaan Tauke. Basyir, ternyata telah lama menyimpan dendam dan merencanakan ini semua, hingga pertempuran tak terelakkan lagi. Kali ini terjadi pertempuran sangat sengit antara Basyir dengan Bujang dan Tauke Besar hanya mampu menyaksikan dari tepat tidurnya, karena Tauke Besar memang sudah lama sakit dan hanya terbaring di tempat tidur. Saat keadaan sangat mendesak dan mungkin tak ada waktu lagi, seketika itu juga saat Bujang jatuh terempas ke tempat tidur Tauke Besar bersama Parwez, tempat tidur itu melesat jauh melewati sebuah lorong, yang hanya diketahui oleh Tauke dan Kopong. Kopong sengaja membuatnya kalau-kalau keadaan mendesak terjadi, seperti sekarang ini, inilah rahasia yang tidak diketahui oleh Bujang. Kemudian tempat tidur itu tiba di sebuah rumah yang memang sudah disiapkan Kopong sebelum kepergiannya. Di rumah itu ada Tuanku Imam, kakek dari mamaknya dengan beberapa santri dari Tuanku Imam. Ketika tiba di rumah itu keadaan Tauke Besar memang sudah sangat kritis, dan Tuanku Imam mengatakan bahwa Tauke Besar sudah tidak tertolong, dia sudah sangat payah saat tiba di halaman rumput. Aku menatap tak percaya ke sampingku. Di atas tempat tidur kayu satunya,terbujur kaku Tauke Besar. Tubuh pendek, gempal itu telah membeku ditutupi kain putih hingga leher.
“Tauke sudah pergi, Bujang”
Aku menunduk , menggigit bibir.kesedihan itu terasa sangat menyakitkan. Inilah hal yang paling kutakutkan dalam hidupku. Aku tidak memiliki rasa takut kecuali atas tiga hal, kematian orang terdekatku. Ada tiga lapis benteng takutku. Satu lapis terkelupas saat mamak pergi. Satu lapis lagi terlepas saat bapak pergi. Malam ini lapisan terakhirnya telah rontok, ketika Tauke Besar akhirnya mati. Aku tahu persis itulah benteng terakhir ketakutan yang aku miliki.”
*****
Setelah bertemu dengan Tuanku Imam, Bujang mendapatkan penafsiran baru, menafsirkan ulang semuanya, menafsirkan ulang tantang keberanian.
“Ketahuilah, Nak, hidup ini tidak pernah tentang mengalahkan siapa pun. Hidup ini hanya tentang kedamaian di hatimu. Saat kamu mampu berdamai, maka saat itulah kau telah memenangkan seluruh pertempuran. Kau membenci suara adzan misalnya, benci sekali, mengingatkan pada masa lalu. Itu karena kau tidak pernah mau berdamai dengan kenangan tersebut. Adzan jelas adalah mekanisme Tuhan memanggil siapapun agar pulang kepangkuan Tuhan, bersujud. Adzan tidak dirancang untuk mengganggu, suara berisik itu bukan untuk menyakiti siapa pun. Itu justru suara panggilan dan harus kencang agar orang mendengarnya. Kau tidak pernah mau berdamai dengan hati sendiri, Nak, itulah yang membuatmu benci pada suara adzan, kau sendiri yang mendefinisikan demikian. Agam kembalilah. Pulanglah kepada Tuhanmu. Aku tahu kau tidak pernah mnyentuh setetespun minuman keras dan tidak mengunyah sepotung pun daging babi dan semua yang diharamkan oleh agama. Perutmu bersih itulah cara mamak kau menjagamu agar tetap dekat saat panggilan untuk pulang  telah tiba.
*****
Setelah pertempuran dan penyerangan hebat di markas Keluarga Tong, selama kurun waktu beberapa Basyir menguasai tempat-tempat strategis Keluarga Tong termasuk menguasai markas besar Keluarga Tong. Dari tempat yang berbeda Bujang menyusun dan mengatur rencana untuk mengambil alih kembali markas dari tangan Basyir. Di rumah Tuanku Imam, Bujang mulai menghubungi sahabat-sahabat yang bisa membantunya dalam perebutan kembali bisnis Keluarga Tong. Bujang menghubungi White anak dari Frans si Amerika, serta Yuki dan Kiko cucu dari Guru Bushi untuk menyusun rencana guna merebut kembali kongsi bisnis Keluarga Tong. Pertempuran dan pertikaian pun terjadi di gedung yang menjadi pusat bisnis Keluarga Tong, saat keadaan terdesak tanpa diduga bantuan datang, Solonga datang tepat waktu, saat Bujang dan yang lain sedang dalam keadaan yang sangat terdesak. Berkat bantuan Solonga, Bujang dan yang lain berhasil menguasai kembali kongsi Bisnis Keluarga Tong. Setelah memakan banyak tukang pukul yang tewas dari kedua belah pihak. Togar dan anak buahnya harus segera mengurusnya, tubuh bergelimpangan itu harus dibersihkan sebelum pagi tiba. Juga bekas darah, senjata dan benda-benda tajam, tentang gedung seberang yang terkena bazooka, suara tembakan dan semua keributan yang berasal dari gedung Parwez.
Pertempuran telah selesai, sayup-sayup terdengar suara adzan subuh. Aku tersenyum. Tuanku Imam benar, itu panggilan Tuhan bagi siapa pun, tidak pernah di desain untuk mengganggu. Kali ini aku bisa mendengarnya dengan lega. Lebh dari 13.000 hari aku mendengarkan suara adzan, lima kali sehari, pagi, siang, sore dan malam. Dari sekian puluh ribu panggilan itu, baru kali ini aku memahaminya. Aku menyeka wajah yang basah oleh butiran air. Terlambat? Tidak juga. Panggilan itutidak pernah mengenal kata terlambat, panggilan itu selalu bekerja secara misterius.
Setelah semuanya selesai, dan Bujang telah resmi menjadi Tauke Besar, Bujang menyempatkan diri untuk pulang menjenguk pusara Mamak dan Bapak di talang.

C.     Kelemahan Buku
Sedikit saja yang menjadi koreksi dalam bukuini, bukan dari segi penulisan ataupun cetakannya, tapi dari awal cerita yang tiba-tiba, lalu flash back menceritakan masa lalu, baik masa lalu Bapak maupun Mamak. Alur yang seperti itu yang terkadang membuat pembaca awam mengalami sedikit kesulitan dalam mencerna alur cerita ini seperti apa.
D.    Keunggulan Buku
Sangat banyak keunggulan dari buku ini, tokoh utama dalam buku ini diceritakan sangat kuat, sangat apik, dan mampu membuat pembacanya seakan-akan bisa membayangkan sosok Bujang seperti aoa, sosok pemberani yang tidak memiliki rasa takut.
Ending ceritanya pun sangat kuat, mampu mengodak aduk perasaan, membuat pembaca menitikkan air mata. Membuat pembaca yang sudah membacanya jadi ingin pulang, pulang ke pangkuan ibu dan bapak masing-masing, atau pulang dalam hakikat yang sebenarnya, pulang menuju ke jalan yang lebih baik, pulang dan kembali menghadap Tuhan, bersujud dan menengadah kepada Tuhan, karena sejatinya semua yang hidup ini akan pulang dan kembali menghadap Tuhannya entah itu ketika nyawa masih menyatu dengan raga, atau saat nyawa telah terpisah dengan raga.
Karena pada hakikatnya, pulang itu mengajarkan kita menjadi pribadi yang baru, pribadi yang berbeda, pribadi yang lebih baik dari pribadi kita sebelumnya.
Epilog dan paragraf penutupnya mampu membuat hati ini bergetar
Mamak, Bujang pulang hari ini. Tidak ke pangkuanmu, tidak lagi bisa mencium tanganmu. Anakmu pulang ke samping pusaramu, bersimpuh penih kerinduan.
Mamak, Bujang pulang hari ini. Amak laki-lakimu satu-satunya telah kembali. Maafkan aku yang tak pernah menjengukmu selama ini. Sungguh maafkan.
Mamak, Bujang pulang hari ini. Terima kasih banyak atas seluruh didikanmu, walau Mamak harus menangis setiap kali melihat Bapak melucut punggungku engan rotan. Terima kasih banyak atas nasihat dan pesanmu.
Mamak, Bujang pulang hari ini. Tidak hanya pulang bersimpuh di pusaramu, tapi juga telah pulang kepada panggilan Tuhan. Sungguh, sejauh apa pun kehidupan menyesatkan, segelap apa pun hitamnya jalan yang kutempuh. Tuhan selalu memanggil kami untuk pulang. Anakmu telah pulang.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar