Kerja Keras dan
Kisah Sukses Pemuda Suku Anak Dalam Bukit Barisan
A.
Identitas
Buku
Judul Buku : PULANG
Penerbit :
REPUBLIKA
Pengarang :
Tere Liye
Tahun terbit : 2015/Cetakan
VIII
Jumlah halaman : 400
halaman
ISBN : 978-602-082-212-9
Harga buku : Rp
65.000,00
Berat :300
gram
Dimensi :13.5 X
20.5 Cm
Cover : Soft
Cover
B.
Sinopsis
Buku
Novel karya
Tere Liye yang baru saja dirilis berjudul PULANG ini bermula ketika Tauke Muda
anak Tauke Besar ini berkunjung ke rumah Samad untuk berburu. Sebenarnya, bukan
itu maksud utamanya, Tauke Besar menyuruh Tauke Muda untuk menjemput anak Samad
untuk diajaknya ke kota. Saat Tauke Muda tiba dirumah Samad dengan membawa tiga
mobil lengkap dengan pasukan dan peralatan berburu lengkap. Setelah mengobrol di
rumah panggung dan menyusun strategi selepas malam tiba mereka bersiap untuk
berburu ke hutan memasuki rimba Sumatra. Saat malam semakin larut dan perburuan
terus berlanjut tiba di teritorial paling dalam di hutan rimba Sumatera,
teretorial yang mungkin saja ini kawasan hutan paling dalam yang menjadi markas
para babi hutan, setelah mengalahkan empat babi hutan seberat 250 kg, kelompok
Tauke Muda dan Bujang yang termasuk di dalamnya semakin merangsek memasuki
hutan rimba Sumatera, langit semakin gelap, udara semakin dingin dan lembab,
pohon dan semak belukar tumbuh tak beraturan. Semakin ke dalam sepertinya telah
memasuki di kawasan penguasa hutan rimba Sumatra, tempat bersarangnya raja babi
hutan, tanpa diduga babi hutan seberat 500 kg keluar siap menghadang kami
dengan mata merah dan moncong teracung ke depan bukan lagi dengusan yang
terdengar, melainkan rauman mirip serigala yang sedang marah, saat Tauke Muda
dan yang lain tersedak, hanya meninggalkan bujang yang masih sehat, pertempuran
itu pun terjadi raja babi hutan rimba Sumatera bertempur melawan Bujang yang
hanya bersenjatakan tombak. Semenjak pertarungan itu, Bujang merasa rasa takut
dalam dirinya sudah dicabut dan dikerluarkan dari dalam dadanya. Bujang seorang
pemuda lima belas tahun yang hanya memiliki 4 emosi tanpa rasa takut.
Semenjak
kejadian di dalam hutan rimba, Tauke Muda memutuskan untuk mengajak Bujang ikut
bersama dirinya pulang ke ibu kota bersamanya dan akan mengakat Bujang menjadi
anak angkatnya. Setelah mengutarakan
maksdunya kepada Samad, kemudian Samad meminta izin kepada Midah mamaknya
Bujang untuk mengizinkan anaknya ikut Tauke Muda ke ibukota. Jika Bujang tetap
di sini, Bujang tidak akan pernah menjadi apa-apa. Maka dengan berat hati dan
berlinang air mata, Midah mengizinkan Bujang untuk ikut Tauke Muda ke ibukota.
“Mamak akan mengizinkan kau pergi, Bujang. Meski itu sama saja dengan
merobek separuh hati mamak. Pergilah, anakku, temukan masa depanmu. Sungguh
besok lusa kau kan pulang. Jika tidak ke pangkuan Mamak, kau akan pulang pada
hakikat sejati yang ada di dalam dirimu. Pulang…”
Saat mamak masih terisak, mamak berpesan kepada Bujang dan meminta
Bujang untuk berjanji satu hal. Yang nantinya janjinya akan terus dipegang
sampai dia menjadi sukses dan kelak menjadi orang yang disegani dan ditakuti
lawannya.
“Kau boleh melupakan Mamak, kau boleh melupakan seluruh kampung
ini. Melupakan seluruh didikan yang mamak berikan. Melupakan agama yang Mamak
ajarkan diam-diam jika bapak kau tidak ada di rumah….”
“Mamak tau kau akan jadi apa di kota sana…. Mamak tahu…. Tapi, tapi
apapaun yang kau lakukan di sana, berjanjilah Bujang, kau tidak akan pernah
makan daging babi atau daging anjing. Kau akan menjaga perutmu dari makanan
haram dan kotor. Kau juga tidak akan menyentuh tuak dan segala minuman haram.”
“Berjanjilah kau akan menjaga perutmu dari semua itu Bujang. Agar….
Agar besok lusa, jika hitam seluruh hidupmu, hitam seluruh hatimu, kau akan
tetap punya satu titik putih, dan semoga itu berguna. Memanggilmu pulang.”
Dengan berat hati dan hati seakan teriiris, mamak mencium ubun-ubun
Bujang dan dengan rela melepas anaknya pergi ikut dalam salah satu mobil yang
di bawa Tauke Muda dan rombongannya.
Sebelum berangkat, Tauke Muda berjanji kepada Samad, bahwa dia akan
merwat Bujang seperti merawat anaknya sediri dan mendidik Bujang seperti
anaknya, karena Tauke Muda berjanji akan menjadikan Bujang sebagai anak
angkatnya.
****
Ketika tiba di ibu kota dan memasuki sebuah rumah dengan halaman
luas dan gerbang besar disambut dengan bangunan paling besar dan dikelilingi
rumah-rumah seperti mess di sayap kiri dan kanan. Begitu memasuki rumah di
bangunan utama, pelayan langsung muncul dan merawat luka yang ada di tubuh
Bujang. Seteleah selesai dan bersih semua. Tauke besar yang saat di kampong di
panggil Tauke Muda oleh bapak berkata “tidak ada lagi rumah panggung: “apa pun
yang dimiliki keluarga ini adalah milikmu, Bujang dan apapun yang kau miliki
adalah milik keluarga ini. Ada seratus orang yang tinggal di rumah Keluarga
Tong dan semuanya memiliki tugas masing-masing. Aku adalah pemimpin tunggal di
rumah ini. Semua kataku adalah perintah. Lakukan tugas dengan baik, saling
menghormati dan respeks dengan penghuni rumah lain, maka kau tidak akan
mendapat masalah. Semenjak hari itu ia
sudah resmi menjadi Keluarga Tong.
Di rumah Keluarga Tong Bujang berteman dengan Basyir yang usianya
terpaut 1 tahun dengannya, ada dua orang penting di rumah keluarga Tong,
pertama Kopong kepala tukang pukul di rumah ini, rambutnya ikal dan wajahnya
sangar. Kedua Ada Mansur dia kepala keuangan, logistik dengan perawakan tinggi
kurus, mengenakan kacamata, amat cermat berhitung dan pengingat.
Lalu ada Frans yang akan mengajari Bujang untuk mengerjar
ketertinggalan di sekolah formal. Sesaat setelah itu Frans memeberikan lembaran
kertas berisi tes potensial akademik, dan menyurh bujang mengerjakannya setelah
selesai beberapa sesi. Tauke muda terkekeh riang “Bagus Bujang.” “aku punya
rencana besar untukmu dan juga rencana besar untuk Keluarga Tong. Akhirnya aku
menemukan potongan puzzle terakhir dari seluruh puzzle selama berpuluh tahun.”
Setelah melalui tes potensial akademik dengan Frans, hari-hari
Bujang selanjutnya diisi dengan membaca buku dan belajar dengan Frans untuk
mengejar ketertinggalannya. Setelah setahun tinggal di Keluarga Tong Bujang
telah mendapatkan ijazah persamaan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama.
Menginjak usia 17 th Frans menargetkan agar Bujang bisa mendapatkan ijazah
setara sekolah menengah atas dan membalik situasi, yang dulunya dia ketinggalan
Sembilan tahun akan lebih cepat setahun dibandingkan yang lain.
Setelah melalui upacara AMOOOK. Di samping kegiatannya bersekolah,
Bujang juga giat berlatih meninju, beladiri dan pukulan serta kecepatan bersama
Kopong setiap malamnya dan siangnya dia belajar dengan Frans untuk mengerjar
ketertinggalan di sekolah formal.
Kopong seseorang yang bersedia mengajari bujang setiap malam, dan
kopong juga yang membujuk Tauke besar agar mengizinkan Bujang berlatih. Kenapa
Kopong bersedia melatih Bujang seperti itu, itu berawal ketika Kopong berusia
12th dia kedapatan mencuri di salah satu toko Keluarga Tong, seharusnya dia
dipukuli hingga habis, tapi tukang pukul keluarga Tong yang memergokiku justru
membawa Kopong ke rumah Keluarga Tong. Dan Ia bilang ke Tauke agar aku bisa
menjadi anggota keluarga. Tauke bersedia memberikan maaf. Dia bahkan
memberikanku tempat tidur dan makanan. Kau tau siapa tukang pukul itu? Yang
merubah hidupku jadi seperti ini? Bapak kau, Samad.
Setelah berbulan-bulan berlatih dengan Kopong, saat aku berhasil
memukul dagunya dan membuat kopong terpental ke belakang-hampir KO, jika aku
tidak menyambar tangannya, latihan selesai. Seminggu setelah itu datang guru
baru yang akan melatih Bujang namanya Bushi, aku lebih memanggilnya Guru Bushi.
Usianya lebih dari lima puluh tahun. Rambutnya beruban dan mengenakan pakaian
tradisional berbentuk jubah dengan ikat pinggang lebar. Dua katana terselip di
pinggangnya. Semenjak bertemu dengan Guru Bushi, Bujang berlatih pedang dengan
sungguh sungguh, tak lupa pula Bujang berlatih Shuriken senjata
tradisional Jepang yang Guru Bushi mampu melempar shuriken dengan mata
tertutup. Satu hal yang selalu Bujang ingat mengenai pesan Guru Bushi “Jika kau
tidak membunuh mereka lebih dulu, maka mereka akan membunuhmu lebih awal.
Pertempuran adalah pertempuran. Tidak ada ampun. Jangan ragu walau sehelai
benang. Setelah berlatih dengan Guru Bushi, semua latihan berakhir dengan Guru
Bushi ketika Guru Bushi mendapat telpon dari keluarga di Jepang Bahwa anaknya
dan istrinya mengalami kecelakaan dan dia terpaksa pulang ke negaranya untuk
merawat cucunya Yuki dan Kiko.
Setelah latihan dengan guru Bushi berakhir, latihan berhenti selama
beberapa minggu karena belum mendapatkan guru yang mampu melatih Bujang, selama
menunggu Bujang kembali berlatih dengan Kopong. Beberapa waktu berlalu,
akhirnya guru yang akan melatih Bujang datang, Kopong tidak mungkin mencarikan
guru biasa, Kopong mencarikan guru terbaik untukku. Namanya Solonga, dia lahir
dari keluarga miskin di kawasan Tondo, Kota Manila, sebuah kawasan super padat
di Filipina. Dengan perawakan tubuh gempal dan pendek, tidak cocok untuk postur
seorang penjahat kawakan. Bahkan dia lebih mirip penjaga toko kelontong saat
memakai kaos tanpa kerah dan celana pendek. Tapi ada sesuatu yang sangat
special dari Salonga. Itulah yang membuat Kopong- dengan persetujuan Tauke
Besar- menjadikannya guru berlatihku. Berikan dia pistol, maka di tangannya,
pistol itu seakan punya mata dan telinga. Salonga adalah penembak ulung,
terbaik di Benua Asia.
Singkat cerita, akhirnya aku punya guru baru, menggantikan Guru
Bushi. Awal-awal latihan sangat menyebalkan karena setiap kali latihan, Bujang
selalu dimaki bodoh oleh Solonga jika mengacu pada standarnya. “Pistol itu
hanya benda mati, Bujang!Tidak bisa berfikir. Tidak bisa menembak sendiri, yang
berpikir adalah orang yang memegangnya. Pemegang pistol yang pintar, dia fokus
pada misinya”. Namun Kopong berusaha menghiburnya “Jangan kau masukkan ke dalam
hati, Bujang. Dia memang suka marah-marah sejak aku membawanya dari Filipina,
mungkin dia masih sakit hati atas pengkhianatan klien di sana.
Ketika latihan selanjutnya masih saja Bujang menerima makian bodoh
dari Solonga, “Penembak yang baik selalu tahu persis kekuatan pistolnya Bujang.
Dia tahu pelurunya akan tiba di mana dan menembus apa saja, dan semua tabiat
pistolnya. Bagi penembak, pistol ibarat kekasih hati, dia memahaminya dengan
baik. Kau yang harus memahami pistolmu, bodoh, bukan benda mati yang memahamimu”.
Sebelum Solonga kembali ke Manila,Tauke Besar meminta Bujang untuk
bertemu dengan Solonga, padahal semalam dia sudah berpamitan dengan Solonga.
Begitu sampai Bujang di persilahkan duduk oleh Tauke Besar. Solonga
mengeluarkan sepucuk pistol colt, memutar silender peluru,
menghentikannya, lantas meletakkan pistol itu ke tanganku, “Kau tau Bujang. Ini
adalah pistol yang sangat penting bagiku. Pistol pertama, pistol terbaik yang
pernah kumiliki. Di dalamnya ada enam slot peluru. Lima slot kosong, satunya
berisi. Aku sudah memutar silindernya, sehingga kita tidak tau di mana posisi
peluru itu. Sekarang angkat pistolnya dan arahkan padaku.” Baik Tauke Besar
maupun Solonga memintanya untuk menembak Solonga, tapi dengan tegas Bujang
menjawab “tidak, aku tidak akan melakukannya.” “Lihat, tebakanku benar bukan?
Dia tidak akan menembakmu, bahkan saat aku memaksanya melakukan. Anak ini
berbeda.” Ternyata semua ini adalah ujian, latihan terakhir dari Solonga. Tapi
kali ini aku berhasil melewatinya dengan baik. Hampir saja aku menarik pelatuk
pistol itu. Tapi sekejap, di detik yang sangat krusial aku mengerti
filosofinya. Pistol hanyalah pistol. Benda ini mematikan, tapi itu semua
bergantung padapemeganya. Aku tidak akan menembak Solonga, bahkan jika
kemungkinan pelurunya keluar satu banding seribu. Aku tidak punya alasan baik
untuk melakukannya sekalipun Tauke yang menyuruhnya. Aku lebih memilih hukuman
dari Tauke daripada menembak Solonga.
“Aku tahu kenapa kau mengangkatnya menjadi anak, pertama, tangannya
sama sekali tidak gemetar saat mengacungkan pistol kepadaku. Dia selalu tenang
dalam situasi segmenting apa pun. Kedua, kau benar, dia memiliki cara berpikir
yang berbeda disbanding tukang pukul lainnya. Kesetiaan anak ini ada pada
prinsip, bukan pada orang atau kelompok. Di masa-masa sulit, hanya prinsip
seperti itulah yang akan memanggil kesetiaan-kesetiaan terbaik lainnya. Selamat
tinggal kawan. Terima kasih banyak telah menyelamatkanku dari tiang gantungan,
sekaligus memberikanku tempat selama menjadi burunan.”
“Pistol colt ini aku terima dari guru menembakku dulu. Dia pernah
bilang, suatu saat, berikan pistol ini pada murid terbaikmu. Aku sudah
menyimpannya selama tiga puluh tahun. Hari ini aku memberikannya kepadamu. Kau
adalah murud terbaikku. Besol lusa, giliranmu mewariskannya.” Itulah terakhir
kali bertemu dan berpamitan sebelum Solonga kembali ke Manila.
****
Tak lama setelah Solonga kembali ke Manila, saat itu Bujang sedang
kuliah pada semester akhir, dan lama kemudian dia mengerjakan skripsi dengan
topik shadow economy, Bujang kuliah lebih cepat dibandingkan
teman-temannya. Usai wisuda, di rumah Tauke Besar sudah membuat pesta atas
kelulusan Bujang. Tapi sayang, beberapa jam kemudian setelah kabar nahagia itu
datanglah kabar yang menghapus semuanya. Kebahagiaan itu hilang bagai pasir
disiram air, hilang tak berbekas. Tauke menyerahkan sepucuk surat, aku
menerimanya dengan mata memicing. Surat itu ditulis oleh bapakku di atas kertas
kusam. Surat ini terlihat jelas oleh basahan tetes air mata yang telah
mengering. Aku membacanya dengan suara tercekat, ini kabar duka. Kabar duka
datang dari pedalaman rimba Sumatra, mengatakan bahwa mamak telah pergi, mamak
telah pulang. Seakan ia tak percaya dengan kabar itu, ini pasti dusta, ini
pasti bohong, tapi…. Surat ini jelas ditulis oleh bapak. Air mata bapak telah
membuat kertas ini menjadi kusam. Ya Tuhan…… aku menatap kosong, mataku pedas,
hatiku bagai diiris sembilu.
Adzan subuh terdengar dari masjid dekat markas, suaranya
sayup-sayup tiba di kamarku. Aku tergugu, teringat dulu Mamak sering
mengajariku mengaji, juga mengajariku mengumandangkan adzan. Suara adzan itu
semakin terang terdengar. Begitu merdu mengalun lembut. Aku memeluk lutut.
Tergugu. Air mataku mengalir membasahi pipi. Seluruh kebahagianku 24 jam
terakhir seperti hilang begitu saja. Mamak telah pergi untuk selama-lamanya.
*****
Setelah kabar duka dari mamak, Bujang memutuskan untuk menerima
tawaran Tauke Besar untuk melanjutkan sekolah di luar negri. Setelah
menyelesaikan semua pendidikannya Bujang kembali pulang dan mendapatkan jamuan
makan meriah seperti yang dilakukan kepada Basyir seminggu sebelumnya.
Tapi keliru. Benar-benar keliru, masih ada kabar yang bisa mengubur
semua rasa bahagia. Pukul setengah empat, pintu kamarku diketuk dari luar. Aku
memicingkan mata. Bukan Baasyir yang muncul dari balik pintu itu. Melainkan
Tauke besar bersama Kopong. Tauke yang measih mengenakan piyama menyodorkan
sepucuk surat kepadaku. “Baru tiba setengah jam lalu, aku sudah membacanya.”
Aku, tiba-tiba teringat kejadian beberapa tahun yang lalu. Tanganku
gemetar membuka lipatan kertas kusam. Aku mengenali tulisan di atasnya, itu
adalah tulisan bapak. Setelah membaca surat itu, Bujang terduduk lama, bangunkan
aku, aku mohon, aku tidak mau berada di sini. Seolah ini hanya mimpi.
Setelah hampir sepuluh tahun berlalu meninggalkan rimba Sumatra.
Tak sekalipun aku pulang menjenguk bapak.tak ada definisi pulang bagiku setelah
Mamak meninggal, karena aku merasa inilah rumahku Keluarga Tong. Bapak pastilah
sangat kesepian di sana. Hari-hari terakhir dihabiskan sendiri tanpa Mamak dan
tanpa aku yang menemani.
Suara adzan makin terdengar, aku tergugu di kamar. Bapak telah
pergi menyusul Mamak untuk selama-lamanya. Setelah menerima kabar itu, Bujang
terlihat sedih, tak bersemangat melakukan apa pun, tidak selera makan, hingga
terbaring lemah tak perdaya selama beberapa minggu. Namun, setelah beberapa
minggu berlalu, akhirnya kesehatannya sudah kembali pulih, bisa makan dengan
lahap dan beraktivitas seperti semula.
*****
Lima tahun berlalu, Bujang diminta pulang untuk menemui Kopong yang
sudah sekarat. Ada yang ingin disampaikan. Mengenai Samad bapaknya. Setelah
Kopong menceritakan semuanya kepada Bujang sudah tiba waktunyta untuk pergi.
“Aku akan pergi, Bujang. Jaga Tauke Besar, jaga Keluarga Tong.
Besok lusa, kaulah yang akan menjadi Tauke di sini. Kau bisa membawa keluarga
ke mana pun kau suka. Termasuk akan membawa apa kau sendiri.apakah akan menjadi
perewa seperti kakek dari bapakmu, atau menjadi pemuda yang baik seperti
kakekmu dari ibumu, dari tuanku imam. Di keluarga ini, seluruh masa lalu, hari
ini dan masa depan akan selalu berkelindan, kait mengait. Esok lusa kau akan
lebih memahaminya
Aku tertunduk satu butir air mata terjatuh bukan semata-mata karena
kepergian Kopong, tapi juga untuk ceritanya. Aku tahu sekarang, lebih banyak
luka di hati bapakku dibandingkan ditibuhnya. Juga mamakku, lebih banyak tangis
di hati mamakku dibandingkan di matanya. Aku tahu itu sekarang.
****
Pertempuran dan pengkhianatan itu terjadi, tidak lain dan tidak
bukan dilakukan oleh tukang pukul kepercayaan Tauke. Basyir, ternyata telah
lama menyimpan dendam dan merencanakan ini semua, hingga pertempuran tak
terelakkan lagi. Kali ini terjadi pertempuran sangat sengit antara Basyir
dengan Bujang dan Tauke Besar hanya mampu menyaksikan dari tepat tidurnya,
karena Tauke Besar memang sudah lama sakit dan hanya terbaring di tempat tidur.
Saat keadaan sangat mendesak dan mungkin tak ada waktu lagi, seketika itu juga
saat Bujang jatuh terempas ke tempat tidur Tauke Besar bersama Parwez, tempat
tidur itu melesat jauh melewati sebuah lorong, yang hanya diketahui oleh Tauke
dan Kopong. Kopong sengaja membuatnya kalau-kalau keadaan mendesak terjadi,
seperti sekarang ini, inilah rahasia yang tidak diketahui oleh Bujang. Kemudian
tempat tidur itu tiba di sebuah rumah yang memang sudah disiapkan Kopong
sebelum kepergiannya. Di rumah itu ada Tuanku Imam, kakek dari mamaknya dengan
beberapa santri dari Tuanku Imam. Ketika tiba di rumah itu keadaan Tauke Besar
memang sudah sangat kritis, dan Tuanku Imam mengatakan bahwa Tauke Besar sudah
tidak tertolong, dia sudah sangat payah saat tiba di halaman rumput. Aku
menatap tak percaya ke sampingku. Di atas tempat tidur kayu satunya,terbujur
kaku Tauke Besar. Tubuh pendek, gempal itu telah membeku ditutupi kain putih
hingga leher.
“Tauke sudah pergi, Bujang”
Aku menunduk , menggigit bibir.kesedihan itu terasa sangat
menyakitkan. Inilah hal yang paling kutakutkan dalam hidupku. Aku tidak
memiliki rasa takut kecuali atas tiga hal, kematian orang terdekatku. Ada tiga
lapis benteng takutku. Satu lapis terkelupas saat mamak pergi. Satu lapis lagi
terlepas saat bapak pergi. Malam ini lapisan terakhirnya telah rontok, ketika
Tauke Besar akhirnya mati. Aku tahu persis itulah benteng terakhir ketakutan
yang aku miliki.”
*****
*****
Setelah bertemu dengan Tuanku Imam, Bujang mendapatkan penafsiran
baru, menafsirkan ulang semuanya, menafsirkan ulang tantang keberanian.
“Ketahuilah, Nak, hidup ini tidak pernah tentang mengalahkan siapa
pun. Hidup ini hanya tentang kedamaian di hatimu. Saat kamu mampu berdamai,
maka saat itulah kau telah memenangkan seluruh pertempuran. Kau membenci suara
adzan misalnya, benci sekali, mengingatkan pada masa lalu. Itu karena kau tidak
pernah mau berdamai dengan kenangan tersebut. Adzan jelas adalah mekanisme
Tuhan memanggil siapapun agar pulang kepangkuan Tuhan, bersujud. Adzan tidak
dirancang untuk mengganggu, suara berisik itu bukan untuk menyakiti siapa pun.
Itu justru suara panggilan dan harus kencang agar orang mendengarnya. Kau tidak
pernah mau berdamai dengan hati sendiri, Nak, itulah yang membuatmu benci pada
suara adzan, kau sendiri yang mendefinisikan demikian. Agam kembalilah. Pulanglah
kepada Tuhanmu. Aku tahu kau tidak pernah mnyentuh setetespun minuman keras dan
tidak mengunyah sepotung pun daging babi dan semua yang diharamkan oleh agama.
Perutmu bersih itulah cara mamak kau menjagamu agar tetap dekat saat panggilan
untuk pulang telah tiba.
*****
Setelah pertempuran dan penyerangan hebat di markas Keluarga Tong,
selama kurun waktu beberapa Basyir menguasai tempat-tempat strategis Keluarga
Tong termasuk menguasai markas besar Keluarga Tong. Dari tempat yang berbeda
Bujang menyusun dan mengatur rencana untuk mengambil alih kembali markas dari
tangan Basyir. Di rumah Tuanku Imam, Bujang mulai menghubungi sahabat-sahabat
yang bisa membantunya dalam perebutan kembali bisnis Keluarga Tong. Bujang
menghubungi White anak dari Frans si Amerika, serta Yuki dan Kiko cucu dari
Guru Bushi untuk menyusun rencana guna merebut kembali kongsi bisnis Keluarga
Tong. Pertempuran dan pertikaian pun terjadi di gedung yang menjadi pusat
bisnis Keluarga Tong, saat keadaan terdesak tanpa diduga bantuan datang,
Solonga datang tepat waktu, saat Bujang dan yang lain sedang dalam keadaan yang
sangat terdesak. Berkat bantuan Solonga, Bujang dan yang lain berhasil
menguasai kembali kongsi Bisnis Keluarga Tong. Setelah memakan banyak tukang
pukul yang tewas dari kedua belah pihak. Togar dan anak buahnya harus segera
mengurusnya, tubuh bergelimpangan itu harus dibersihkan sebelum pagi tiba. Juga
bekas darah, senjata dan benda-benda tajam, tentang gedung seberang yang
terkena bazooka, suara tembakan dan semua keributan yang berasal dari gedung
Parwez.
Pertempuran telah selesai, sayup-sayup terdengar suara adzan subuh.
Aku tersenyum. Tuanku Imam benar, itu panggilan Tuhan bagi siapa pun, tidak
pernah di desain untuk mengganggu. Kali ini aku bisa mendengarnya dengan lega.
Lebh dari 13.000 hari aku mendengarkan suara adzan, lima kali sehari, pagi,
siang, sore dan malam. Dari sekian puluh ribu panggilan itu, baru kali ini aku
memahaminya. Aku menyeka wajah yang basah oleh butiran air. Terlambat? Tidak
juga. Panggilan itutidak pernah mengenal kata terlambat, panggilan itu selalu
bekerja secara misterius.
Setelah semuanya selesai, dan Bujang telah resmi menjadi Tauke
Besar, Bujang menyempatkan diri untuk pulang menjenguk pusara Mamak dan Bapak
di talang.
C.
Kelemahan
Buku
Sedikit saja yang menjadi koreksi
dalam bukuini, bukan dari segi penulisan ataupun cetakannya, tapi dari awal
cerita yang tiba-tiba, lalu flash back menceritakan masa lalu, baik masa lalu
Bapak maupun Mamak. Alur yang seperti itu yang terkadang membuat pembaca awam
mengalami sedikit kesulitan dalam mencerna alur cerita ini seperti apa.
D.
Keunggulan
Buku
Sangat banyak keunggulan dari buku
ini, tokoh utama dalam buku ini diceritakan sangat kuat, sangat apik, dan mampu
membuat pembacanya seakan-akan bisa membayangkan sosok Bujang seperti aoa,
sosok pemberani yang tidak memiliki rasa takut.
Ending ceritanya pun sangat kuat,
mampu mengodak aduk perasaan, membuat pembaca menitikkan air mata. Membuat
pembaca yang sudah membacanya jadi ingin pulang, pulang ke pangkuan ibu dan
bapak masing-masing, atau pulang dalam hakikat yang sebenarnya, pulang menuju
ke jalan yang lebih baik, pulang dan kembali menghadap Tuhan, bersujud dan
menengadah kepada Tuhan, karena sejatinya semua yang hidup ini akan pulang dan
kembali menghadap Tuhannya entah itu ketika nyawa masih menyatu dengan raga,
atau saat nyawa telah terpisah dengan raga.
Karena pada hakikatnya, pulang itu
mengajarkan kita menjadi pribadi yang baru, pribadi yang berbeda, pribadi yang
lebih baik dari pribadi kita sebelumnya.
Epilog dan paragraf penutupnya mampu
membuat hati ini bergetar
“Mamak,
Bujang pulang hari ini. Tidak ke pangkuanmu, tidak lagi bisa mencium tanganmu.
Anakmu pulang ke samping pusaramu, bersimpuh penih kerinduan.
Mamak,
Bujang pulang hari ini. Amak laki-lakimu satu-satunya telah kembali. Maafkan
aku yang tak pernah menjengukmu selama ini. Sungguh maafkan.
Mamak,
Bujang pulang hari ini. Terima kasih banyak atas seluruh didikanmu, walau Mamak
harus menangis setiap kali melihat Bapak melucut punggungku engan rotan. Terima
kasih banyak atas nasihat dan pesanmu.
Mamak,
Bujang pulang hari ini. Tidak hanya pulang bersimpuh di pusaramu, tapi juga
telah pulang kepada panggilan Tuhan. Sungguh, sejauh apa pun kehidupan
menyesatkan, segelap apa pun hitamnya jalan yang kutempuh. Tuhan selalu
memanggil kami untuk pulang. Anakmu telah pulang.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar