Seperseribu Detik Sebelum Pukul 16.00
SEBETULNYA mereka
berdua tidak ingin melihat jam tangan masing-masing, juga tidak ingin melihat
jam dinding, karena hanya akan memperlihatkan kenyataan menyakitkan.
“Aku tidak mau berpisah.”
“Aku juga.”
“Aku tidak mau.”
“Aku juga tidak mau.”
“Tidak mau. Pokoknya tidak mau.”
“Jangan mau. Pokoknya jangan mau.”
Mereka saling
memandang. Tidak ada waktu. Mungkinkah waktu 60 menit menggantikan waktu 60
tahun? Tidak ada waktu.
Tidak adakah waktu?
Tidak ada yang pernah tahu apakah waktu
ada awal dan ada akhirnya. Tidak ada. Tidak pernah. Tidak mungkin. Tidak perlu.
Tidak ada waktu lagi. Mereka berdua
melihat jam tangan. Deru pesawat terbang melintas di kejauhan.
Masih ada waktu!
“Lima menit lagi.”
“Hanya lima menit!”
Detak jam dinding bagai dentum yang
bergaung di langit.
“Aku tidak mau, aku tidak mau, aku tidak
mau….”
Lelaki tua itu
menggeleng-gelengkan kepala. Perempuan tua itu tertunduk, selalu tertunduk,
seperti yang selalu dilakukannya sejak belia. Bukankah memang dia, pikir lelaki
tua itu, yang wajahnya kelam seperti lubang hitam di langit yang membuatku
terhisap sejuta pusaran? Dalam 60 tahun, segalanya memang sudah berubah, tetapi
setelah 60 tahun mata mereka masing-masing masih berbicara dengan bahasa yang
sama.
“Aku juga tidak mau…,” kata perempuan
tua itu setengah berbisik, “tapi bagaimana?”
Bagaimana. Itulah soalnya. Bagaimana.
Waktu lima menit itu
pun berjalan. Pesawat terbang mendarat. Pesawat terbang lepas landas. Kolam
renang biru muda. Taman di bawah matahari. Orang-orang makan dan minum dan
tertawa-tawa dalam berbagai bahasa. Pramugari menyeret kopornya.
“Aduuuuuhhh,” kata lelaki itu lagi
dengan kedua tangan memegang kepalanya, “kenapa ini mesti terjadi.”
Perempuan itu mengangkat kepalanya yang
tadi selalu tertunduk.
“Pertemuan ini?”
“Perpisahan ini!”
Perempuan itu tertunduk
lagi. Itulah kenyataannya. Mereka telah berpisah 60 tahun yang lalu tanpa
pernah bertemu kembali, tanpa pernah mengucapkan sepatah kata sama sekali,
tetapi kini harus berpisah lagi.
“Padahal selama itu aku selalu
mengingatmu.”
“Aku juga.
Mereka telah saling
mengingat tanpa saling mengetahui isi hati masing-masing meski hati mereka
telah bersua. Mereka telah mendengar kata hatinya masing-masing yang telah
menyampaikan segalanya tanpa bahasa apa pun selain rasa, hanya rasa, dan tiada
lain selain rasa tanpa pernah mendapat terjemahan nalarnya dalam kepala.
“Kenapa aku bisa begitu bodoh waktu itu
ya?”
“Aku juga bodoh.”
Kini keduanya sama-sama
tertunduk. Mereka telah bertemu kembali 60 tahun kemudian dan merasa tidak
perlu berpisah lagi apa pun yang terjadi bahkan ketika hal itu sama sekali
tidak mungkin.
“Tapi bagaimana?”
Itulah soalnya! Bagaimana!
“Satu menit lagi!”
Perempuan tua itu mengusap matanya.
Lelaki tua itu memegang tangannya.
“Tidak! Kita tidak perlu berpisah lagi!
Tidak usah!”
Tidak ada waktu lagi!
Tangan mereka saling menggenggam dengan
erat, sangat amat erat, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih erat.
“Aku tidak mau, aku tidak mau, aku tidak
mau!”
Hanya seperti bisikan,
tetapi dalam dunia mereka semesta berdentam-dentam. Dengan segala daya mereka
renggangkan detak-detak dari detik ke detik sehingga detak yang satu bertambah
jauh jarak waktunya dari detak yang lain, dan begitu jauh jaraknya, makin lama
makin jauh, begitu rupa jauhnya membuat setiap detak bagaikan bergaung
sendirian dalam semesta waktu nan sunyi begitu sunyi bagaikan tiada lagi yang
lebih sunyi sampai jarak yang begitu jauh membuat gaung tak menemukan sarana
bunyi sama sekali karena waktu seperti telah tertahan!
***
Di restoran itu
terlihat jarum jam bergetar dengan dahsyat, begitu dahsyat sampai tak bisa
dilihat karena jika waktu yang tak tertahankan telah tertahan tentulah
mengakibatkan tolak menolak yang dahsyat pada jarum jam!
Seperseribu detik
sebelum pukul 16 waktu setempat, jarum jam di seluruh dunia bergetar dahsyat
dalam waktu setempatnya masing-masing! Waktu telah tertahan! Orang-orang
berhenti berjalan. Sendok berhenti di muka mulut. Minuman tak jadi tertuang.
Airnya mengambang karena waktu memang berhenti. Busyet!
Namun meski segala
pergerakan tertahan, bergetar dahsyat dalam dorongan waktu yang tak tertahankan
tetapi dalam kenyataannya tertahan, pikiran orang-orang yang gerakannya
terhenti masih berjalan dan mereka masih dapat berkata-kata untuk menyalurkan
kepanikan! Ibarat bendungan raksasa yang menahan air bah, waktu yang
sesungguhnyalah mengalirnya tak tertahankan dalam ketertahanannya mengalir juga
di sana-sini dengan sangat tidak beraturan….
“Busyet! Ada apa ini? Ada apa ini?”
Mobil-mobil berhenti melaju, tetapi
radionya tetap berbunyi, karena penyiar yang tangannya terhenti ketika memegang
mikrofon masih bisa berbicara dan melaporkan pandangan mata yang didengarnya
lewat perangkat-suara di telinganya.
“Para pendengar di segala penjuru tanah
air yang dapat dicapai oleh siaran ini, mohon perhatian sejenak atas peristiwa
luar biasa yang dilaporkan para wartawan kami di lapangan, yang sementara
tubuhnya takbisa lagi bergerak maju, masih bisa menyampaikan pandangan mata
lewat mikrofon yang katanya kebetulan terangkat di depan mulutnya. Para
pendengar sekalian, di jalanan mobil-mobil berhenti dengan mesin masih hidup,
seperti bersama waktu tetap mau berjalan tapi takberdaya karena waktu tertahan.
Bahkan pesawat terbang berhenti di udara dan tidak jatuh saudara-saudara,
karena memang rupa-rupanya adalah waktu yang tertahan dan takbisa berjalan
bersama segala sesuatu yang bergerak dalam waktu! Namun takseluruh waktu
tertahan saudara-saudara, waktu yang arus dan alirannya taktertahankan merembes
dan mengalir di sana-sini sehingga kami masih bisa bicara saudara-saudara!
Orang-orang tertahan takbisa maju di jalanan, tetapi masih bisa saling
berbicara dengan panik karena mengira akhir dunia telah tiba! Ahhhh, ada-ada
saja bukan saudara-saudara? Hehehehe!”
Seperseribu detik sebelum pukul 16:00
waktu telah tertahan. Seperseribu detik yang tersisa menjadi sejuta tahun
semilyar tahun setrilyun tahun takterhitung! Apalah artinya 60 tahun yang
terpadatkan dalam waktu yang terhenti, tertahan, berkutat maju dengan penuh
perjuangan dan daya di luar perhitungan manusia? Angin berhenti, mega-mega
berhenti, sungai berhenti, samudera diam takberombak, burung elang takberkepak,
semesta dan segala langitnya menjadi gambar.
Dalam dunia yang terhenti seperti gambar,
tetapi gambar yang tergetar-getar dengan daya semesta yang waktunya tertahan
ketika seharusnya taktertahankan, kata-kata dan hanya kata-kata yang bertebaran
di luar ruang dan di luar waktu sebagai gagasan. Inilah gagasan yang menembus
lembaran-lembaran ruang dan lembaran-lembaran waktu dan mempertanyakan.
“Ada apa ini? Ada apa ini?”
“Aneh-aneh saja waktu berhenti! Mengapa
tidak kiamat saja sekalian? Dasar kurang pekerjaan!”
“Memangnya ada yang ngerjain? Memangnya
siapa yang kurang pekerjaan sampai bisa jadi kayak gini?”
Di pasar, meskipun segala gerakan tubuh
terhenti, mulut-mulut juga taksudi ditahan.
“Bener-bener deh! Apa sih ini
maksudnya?”
“Tau deh, siape ni nyang punya mau,
nyang pasti nggak peduli kalau bisa nyilakain orang.”
“Iye ni! Kebangetan!”
Gagasan terucap di antara orang-orang
yang sendok berisi nasi gorengnya sudah terangkat ke depan mulut tapi takbisa
dilanjutkan, yang minuman dalam botolnya tertuang ke dalam mulut kehausan
tetapi airnya terhenti sebelum masuk tenggorokan, yang sedang berjalan sambil
melamunkan kekasih sedang menunggu tetapi lantas kaki terhenti takbisa berjalan
meski maksud hati terus melangkah ke depan, yang melenggang di cat-walk karena
memang peragawati tapi lantas berhenti seperti patung untuk pajangan, yang
sedang bersalto di udara dalam lomba senam tetapi berhenti di udara tanpa bisa
diturunkan karena memang seluruh umat manusia dalam semesta gerakannya
tertahan. Busyet…
Tiada lagi peristiwa akan terjadi.
Cerita terhenti dan tanpa cerita tiadalah berarti segala keberadaan dunia ini.
Waktu yang tertahan harus dilawan dan memang sedang dilawan tetapi apakah
kiranya yang akan menjamin keberhasilan perlawanan jika justru waktu yang
taktertahankan tertahan sehingga bahkan rinai hujan tetap berada di tempatnya takbergerak
seperti halaman gambar yang meruang? Namun nun di suatu tempat tersunyi pisau
belati bergerigi yang siap menembus perut pun tertahan takdapat dilanjutkan.
Dalam waktu tertahan yang mengacaukan, nasib malang tertunda, tetapi takjelas
juga apakah akan dapat dibatalkan.
Seperseribu detik sebelum pukul 16:00.
Para pelayan di restoran melihat dua orang tua masih saling menggenggam tangan
karena keduanya takmenghendaki perpisahan. Keduanya hanya ingin berada di sana
saja selama-lamanya, begitu lama, bagaikan tiada lagi yang lama, karena memang
maunya selama-lamanya. Tertelungkup dan berpegangan tangan dengan erat seolah
bertahan dari waktu yang berusaha menyeret dan memisahkan.
“Kenapa kamu menghilang begitu saja,
ketika aku selalu menantimu sebelumnya….”
“Aku taktahu kamu selalu menantiku,
takpernah tahu dan tak akan pernah pergi kalau tahu kamu selalu menantiku, tak
akan pernah….”
“Bagaimana kamu bisa tidak tahu aku
selalu menantimu seperti itu….”
“Bagaimana aku bisa tahu kamu selalu
menantiku seperti itu….”
“Padahal aku bahagia setiap kali kamu
datang, sampai pada suatu hari kamu tidak pernah datang lagi, hilang lenyap
seperti ditelan bumi….”
“Aku tidak tahu, takpernah tahu,
kepalamu selalu tertunduk seperti itu, sampai aku mengira kamu taksuka dengan
kehadiranku….”
“Aku selalu menantimu, menunggu seperti
perempuan dalam dongeng, sampai aku tahu harus menghadapi kenyataan dan
melupakanmu….”
“Sekarang kamu tetap akan pergi dan
melupakan aku….”
“Tidak. Tidak mungkin. Tidak mau.…”
Tapi waktu check-in paling lambat pukul
16:00. Jika tidak perempuan tua itu bisa terlambat, dan jika terlambat serta
ketinggalan pesawat, cerita akan jadi berlarat-larat.
“Seandainya waktu….”
Mereka tak ingin waktu mencapai pukul
16:00. Mereka sangat menginginkan waktu tertahan sehingga semesta takberedar
dan karenanya bergetar-getar sehingga membuat langit berdenyar-denyar.
Namun waktu tetap berjalan, sampai
seperseribu detik sebelum pukul 16:00.
“Seandainya…,” kata lelaki tua itu
akhirnya, menggenggam tangan perempuan tua itu dengan erat, seperti ingin
menyatu dan tidak akan terpisahkan lagi setelah 60 tahun berlalu tanpa
perjumpaan.
Seperseribu detik sebelum pukul 16:00,
jika waktu tetap tertahan semesta akan menjelma serbuk cahaya dan segera meruap
selamanya seperti lenyapnya bisikan, seolah cinta memang begitu besar sehingga
dunia harus dikorbankan.
Seperseribu detik sebelum pukul 16:00,
jarum jam bergerak menuju angka IV.
Kedua orang tua itu saling menatap,
dengan mata yang telah menjadi basah tanpa dapat ditahan…. (*)
Jalan Panjang — Kampung Utan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar